1. Pelaksanaan
Pancasila
Pelaksanaan pancasila diartikan sebagai proses
aktualisasi nilai-nilai yang terkandung dalam pencasila dalam mengatur bangsa
dan Negara untuk mencapai tujuan Negara.
Pelaksanaan pancasila dapat dibedakan atas dua macam yaitu: pelaksanaan
objektif dan subjektif.
A. Pelaksanaan pancasila yang objektif
Pelaksanaan pancasila yang objektif
adalah pelaksanaan pancasila dalam bentuk realisasi dalam setiap aspek
penyelenggaraan Negara, baik dibidang legislative, eksekutif, yudikatif maupun
semua bidang kenegaraan lainnya. Pengamalan objektif ini terutama berkaitan
dengan realisasi dalam bentuk peraturan perundang-undangan Negara Indonesia.
Contoh:
a. Pelaksanan pancasila dalam bidang ekonomi
Hampir semua pakar ekonomi Indonesia memiliki
kesadaran akan pentingnya moralitas kemanusiaan dan ketuhanan sebagai landasan
pembangunan ekonomi. Namun dalam praktiknya, mereka tidak mampu meyakinkan
pemerintah akan konsep-konsep dan teori-teori yang sesuai dengan kondisi
Indonesia. Bahkan tidak sedikit pakar ekonomi Indonesia yang mengikuti pendapat
atau pandangan pakar Barat (pakar IMF) tentang pembangunan ekonomi Indonesia.
Pilar Sistem
Ekonomi Pancasila meliputi:
(1) ekonomika
etik dan ekonomika humanistik (dasar),
(2) nasional ekonomi dan demokrasi (cara/metode
operasionalisasi), dan
(3) ekonomi berkeadilan sosial (tujuan).
Kontekstualisasi dan implementasi Pancasila
dalam bidang ekonomi cukup dikaitkan dengan pilar-pilar di atas dan juga
dikaitkan dengan pertanyaan-pertanyaan dasar yang harus dipecahkan oleh sistem
ekonomi apapun.
Pertanyaan-pertanyaan itu adalah:
(a) Barang dan
jasa apa yang akan dihasilkan dan berapa jumlahnya;
(b) Bagaimana
pola atau cara memproduksi barang dan jasa itu, dan
(c) Untuk siapa barang tersebut
dihasilkan, dan bagaimana mendistribusikan barang tersebut ke masyarakat.
Langkah yang perlu dilakukan adalah perlu digalakkan
kembali penanaman nilai-nilai Pancasila melalui proses pendidikan dan
keteladanan. Perlu dimunculkan gerakan penyadaran agar ilmu ekonomi ini
dikembangkan ke arah ekonomi yang humanistik, bukan sebaliknya mengajarkan
keserakahan dan mendorong persaingan yang saling mematikan untuk memuaskan
kepentingan sendiri. Ini dilakukan guna mengimbangi ajaran yang mengedepankan
kepentingan pribadi, yang melahirkan manusia sebagai manusia ekonomi (homo
ekonomikus), telah melepaskan manusia dari fitrahnya sebagai makhluk sosial
(homo socius), dan makhluk beretika (homo ethicus).
Relevankah Ekonomi Pancasila dalam memperkuat peranan
ekonomi rakyat dan ekonomi negara di era global (isme) kontemporer? Mereka
skeptis, bukankah sistem ekonomi kita sudah mapan, makro-ekonomi sudah stabil
dengan indikator rendahnya inflasi (di bawah 5%), stabilnya rupiah (Rp
8.500,-), menurunnya suku bunga (di bawah 10%). Lalu, apakah tidak mengada-ada
bicara sistem ekonomi dari ideologi yang pernah “tercoreng”, dan tidak nampak
wujudnya, tidak realistis, dan utopis? Mereka ini begitu yakin bahwa masalah
ekonomi (krisis 97) adalah karena “salah urus” dan bukannya “salah sistem”,
apalagi dikait-kaitkan dengan “salah ideologi” atau “salah teori” ekonomi.
Tidak dapat disangkal, KKN yang ikut memberi sumbangan besar bagi keterpurukan
ekonomi bangsa ini. Namun, krisis di Indonesia juga tidak terlepas dari
berkembangnya paham kapitalisme disertai penerapan liberalisme ekonomi yang
“kebablasan”. Akibatnya, kebijakan, program, dan kegiatan ekonomi banyak
dipengaruhi paham (ideologi), moral, dan teori-teori kapitalisme-liberal. Di
sinilah relevansi Ekonomi Pancasila, sebagai “media” untuk mengenali (detector)
bekerjanya paham dan moral ekonomi yang berciri neo-liberal Pancasila
sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945 adalah dasar negara dari negara
kesatuan Republik Indonesia yang harus dilaksanakan secara konsisten dalam
kehidupan bernegara.
b. Pelaksanan pancasila dalam
bidang politik dan hukum
Pembangunan politik memiliki dimensi yang strategis
karena hampir semua kebijakan publik tidak dapat dipisahkan dari
keberhasilannya. Tidak jarang kebijakan publik yang dikeluarkan pemerintah
mengecewakan sebagian besar masyarakat.
Beberapa
penyebab kekecewaan masyarakat, antara lain:
(1) kebijakan
hanya dibangun atas dasar kepentingan politik tertentu,
(2) kepentingan masyarakat kurang mendapat perhatian,
(3) pemerintah dan elite politik kurang berpihak
kepada masyarakat,
(4) adanya tujuan tertentu untuk melanggengkan
kekuasaan elite politik.
Keberhasilan pembangunan politik bukan hanya dilihat
atau diukur dar terlaksananya pemilihan umum (pemilu) dan terbentuknya
lembaga-lembaga demokratis seperti MPR, Presiden, DPR, dan DPRD, melainkan
harus diukur dari kemampuan dan kedewasaan rakyat dalam berpolitik. Persoalan
terakhirlah yang harus menjadi prioritas pembangunan bidang politik. Hal ini
sesuai dengan kenyataan objektif bahwa manusia adalah subjek negara dan karena
itu pembangunan politik harus dapat meningkatkan harkat dan martabat manusia.
Namun, cita-cita ini sulit diwujudkan karena tidak ada kemauan dari elite
politik sebagai pemegang kebijakan publik dan kegagalan pembangunan bidang
politik selama ini. Pembangunan politik semakin tidak jelas arahnya, manakala
pembangunan bidang hukum mengalami kegagalan. Penyelewengan-penyelewengan yang
terjadi tidak dapat ditegakkan oleh hukum. Hukum yang berlaku hanya sebagai
simbol tanpa memiliki makna yang berarti bagi kepentingan rakyat banyak.
Pancasila sebagai paradigma pembangunan politik juga belum dapat direalisasikan
sebagaimana yang dicita-citakan. Oleh karena itu, perlu analisis ulang untuk
menentukan paradigma yang benar-benar sesuai dan dapat dilaksanakan secara
tegas dan konsekuen.
Pancasila sebagai paradigma
pambangunan politik dan hukum kiranya tidak perlu dipertentangkan lagi.
Bagaimanakah melaksanakan paradigma tersebut dalam praksisnya? Inilah persoalan
yang perlu mendapat perhatian dalam pembangunan politik dan hukum di masa-masa
mendatang. Apabila dianalisis, kegagalan tersebut disebabkan oleh beberapa
persoalan seperti:
1. Tidak jelasnya paradigma pembangunan
politik dan hukum karena tidak adanya blue print.
2. Penggunaan Pancasila sebagai paradigma
pembangunan masih bersifat parsial.
3. Kurang berpihak pada hakikat pembangunan politik dan hukum.
Prinsip-prinsip pembangunan politik yang
kurang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila telah membawa implikasi yang luas
dan mendasar bagi kehidupan manusia Indonesia. Pembangunan bidang ini boleh
dikatakan telah gagal mendidik masyarakat agar mampu berpolitik secara cantik
dan etis karena lebih menekankan pada upaya membangun dan mempertahankan kekuasaan.
Implikasi yang paling nyata dapat dilihat dalam pembangunan bidang hukum serta
pertahanan dan keamanan. Pembangunan bidang hukum yang didasarkan pada
nilai-nilai moral (kemanusiaan) baru sebatas pada tataran filosofis dan
konseptual. Hukum nasional yang telah dikembangkan secra rasional dan realistis
tidak pernah dapat direalisasikan karena setiap upaya penegakan hukum selalu
dipengaruhi oleh keputusan politik. Oleh karena itu, tidak berlebihan apabila
pembangunan bidang hukum dikatakan telah mengalami kegagalan. Sementara,
pembangunan bidang pertahanan dan keamanan juga telah menyimpang dari hakikat
sistem pertahanan yang ingin dikembangkan seperti yang dicita-citakan oleh para
pendiri republik tercinta ini. Pembangunan pertahanan dan keamanan lebih
diarahkan untuk kepentingan politik, terutama guna mempertahankan kekuasaan.
B. Pelaksanaan pancasila yang subjektif
Pelaksanaan pancasila yang
subjektif adalah pelaksanaan pancasila dalam setiap pribadi, perorangan, setiap
warga, Negara individu, penduduk, penguasa, dan setiap orang Indonesia.
Pengamalan pancasila yang subjektif ini justru lebih penting dari pengamalan
yang objektif, karena pengamalan yang subjektif ini merupakan persyaratan
keberhasilan pengamalan yang objektif
Dengan ini pelaksanan pancasila yang subjektif
sangat berkaitan dengan kesadaran, ketaatan serta kesiapan individu untuk
mengamalakan pancasila. Dalam pengamalan pancasila yang subjektif ini bilamana
nilai-nilai pancasila telah dipahami, diresapi dan dihayati oleh seseorang maka
seseorang itu telah memiliki moral pancasila.
Contoh:
a.
Pelaksanaan
pancasila dalam kehidupan sehari-hari
Mengamalkan Pancasila sebagai pandangan
hidup bangsa (falsafah hidup bangsa) berarti seseorang/individu melaksanakan
Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, menggunakan Pancasila sebagai petunjuk
hidup sehari-hari, agar hidup kita dapat mencapai kesejahteraan dan kebahagian
lahir dan batin. Pengamalan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari ini adalah
sangat penting karena dengan demikian diharapkan adanya tata kehidupan yang
serasi(harmonis) Bahwa pengamalan Pancasila secara utuh (5 sila) tersebut
adalah merupakan menjadi syarat penting bagi terwujudnya cita-cita kehidupan
berbangsa dan bernegara.
2. Prinsip-prinsip dalam pelaksanaan Pancasila
Prinsip merupakan
kebenaran yang pokok/dasar bagi orang yang berfikir, bertindak dan lain
sebagainya. Dalam menjalankan
prinsip-prinsip demokrasi secara umum terdapat 2(dua) landasan pokok yang
menjadi dasar yang merupakan syarat mutlak untuk diketahui oleh setiap orang
yang menjadi pemimpin negara/rakyat/masyarakat/organisasi/partai dan keluarga
yaitu:
a)
Suatu
negara itu adalah milik seluruh
rakyat bukan milik perorangan atau milik
suatu keluarga/kelompok/golongan/partai, dan bukan pula milik penguasa negara.
b)
Siapapun yang menjadi
pemegang kekuasaan negara, prinsipnya adalah selakupengurusa rakyat, yaitu
harus bisa bersikap dan bertindak adil terhadap seluruhrakyatnya.
Prinsip-prinsip dalam arti luas dapat dibagi
menjadi 2 bagian yaitu:
A. Prinsip ditinjau dari segi instrinsik (segi ke
dalam)
Menurut Kuntowijoyo, pancasila dari segi
instrinsik harus:
1. Koheren
Ø Dalam bahasa latin “cobaerere” berarti lekat satu
dengan yang lainnya artinya satu sila harus berkaitan dengan sila yang lain
Ø Prinsip koheren ini dalam pemikiran Notonagoro
dikenal sebagai prinsip ke-satuan organis dan tata hubungan sila-sila pancasila
yang bersifat hierarkis pyramidal
Ø Tata hubungan sila-sila yang bersifat hierarkis
pyramidal artinya sila pertama mendasari dan menjiwai sila 2, 3, 4, dan 5. Sila
ke-2 dijiwai dan didasari sila ke-1, dan menjiwai dan mendasari sila ke-3, ke-4
dan ke-5.
2. Konsisten
Ø Dalam bahasa latin “consisten” yang berarti
berdiri bersama artinya sesuai, harmoni, atau hubungan logis.
Ø Artinya pelaksanaan pancasila seharusnya berdiri bersama,
sesuai, harmoni dan memiliki hubungan logis dengan nilai-nilai pancasila
Ø Sebagai contoh nilai-nilai pancasila yang
tercermin dalam pokok-pokok pikiran pembukaan UUD 1945 harus dijabarkan secara
konsisten ke dalam Batang Tubuh UUD 1945 dan perangkat hukum di bawahnya.
3. Koresponden
Berasal
dari bahasa Latin “com” berarti bersama dan “respondere” berarti menjawab. Maka
arti secara keseluruhan cocoknya praktek dengan teori, ke-nyataan dan ideologi,
senjatanya (das seis) dengan seharusnya (das sollen), isi (material), dan
bentuk (formal)
Ø Contohnya kegagalan konsep pebangunan
sentralistik pada masa orde baru yang tidak memperhatikan realitas masyarakat
Indonesia adalah plural, baik ditinjau dari segi agama, etis, geografis dan
historis
Ø Contoh lain adalah tradisi pengambilan sumpah
jabatan, yang selalu di-hafalkan akan setia kepada pancasila dan UUD 1945,
namum dalam ke-nyataannya setelah menjabat semuanya hanya tinggal kata-kata dan
tidak ter-cermin dalam perbuatan
B. Prinsip ditinjau dari segi ekstrinsik (segi ke luar)
Pancasila pada awalnya dimaksudkan sebagai dasar
Negara sekaligus sebagai penyalur kepentingan, baik kepentingan horizontal
maupun kepentingan vertikal.
Ditinjau dari segi ekstrinsiknya pelaksanaan
pancasila itu sendri harus memiliki prinsip pragmatic artinya memiliki nilai
kegunaan, harus dimaknai secara kritis, yaitu berguna dalam arti luas baik
ditinjau dari ruang dan waktu. Ditinjau dari konteks ruang berarti berguna bagi
sebagian besar kepentingan masyarakat luas tanpa harus menyisihkan kepentingan
masyarakat yang lain sedangkan dalam konteks waktu berguna dalam jangka
panjang, dengan mengorbankan jangka pendek.
Prinsip ekstrinsik ini dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Penyalur kepentingan horizontal
Maksudnya adalah kepentingan dari segenap
komponen bangsa yang pluralistik di antara sesama warga Negara, ditinjau dari
pluralitas yang tercermin dalam suku, agama, ras dan golongan. Jadi prinsip ini
harus benar-benar diterapkan di Indonesia supaya yang lain dan juga golongan,
agama.
2. Penyalur kepentingan vertikal
Maksudnya adalah
kepentingan dari individual/perorangan di dalam suatu tempat atau wilayah. Prinsip ini harus mengajarkan bahwa dalam melaksanakan pancasila harus mem-perhatikan
adanya berbagai kepentingan yang sifatnya vertikal. Misalnya ke-pentingan
antara warga Negara dengan penyelenggara Negara, orang miskin de-ngan orang
kaya, buruh-majikan, minoritas-mayoritas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar